Berawal dari kecintaannya untuk mencerdaskan anak bangsa, terutama di Kota Solo, Haji suparno Zain al Abidin, seorang pengusaha muslim di kota Solo, mendirikan sebuah yayasan yang kini menjadi lembaga pendidikan besar dengan visi mengukir masa depan gemilang bagi generasi penerus bangsa. Yayasan ini terus berkembang sejak didirikan pada tahun 1994, dengan memiliki 24 unit sekolah dari jenjang TK hingga SMA, satu Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an, dan satu unit pendidikan tinggi, tersebar di berbagai kota seperti Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Karanganyar, Klaten, dan Yogyakarta. Hingga tahun 2024, yayasan ini telah memiliki 6.859 murid terdaftar.

Haji Suparno, yang lahir dengan nama kecil Soekarno di Sragen, berasal dari keluarga petani sederhana dan miskin. Semasa kecil, ia harus tinggal dengan keluarga pamannya di Solo karena ayahnya tidak mampu merawat anak-anaknya. Dibesarkan dalam keluarga seorang tentara, Pakde Sis, ia terinspirasi untuk menjadi tentara dan akhirnya berhasil bergabung dengan TNI. Beliau bertugas di Kalimantan dan Irian Barat, hingga akhirnya mencapai pangkat Pembantu Letnan Dua sebelum pensiun. Selama menjadi tentara, Haji Suparno menunjukkan keteguhan iman yang luar biasa, seperti tetap menunaikan salat meskipun harus secara sembunyi-sembunyi karena aturan ketat dari komandan.

Setelah pensiun, Haji Suparno dan istrinya, Hajah Mini, yang awalnya merintis usaha kecil-kecilan, kembali ke Solo. Di sana, Haji Suparno mulai merintis pendirian yayasan pendidikan Islam. Semangat beliau untuk mencerdaskan anak bangsa, didukung oleh nilai-nilai keislaman yang kuat, mendorongnya untuk mendirikan sekolah-sekolah di bawah naungan yayasan yang kemudian diberi nama sesuai dengan namanya, Yayasan Soeparno Zaenal Abidin. Dari pengalaman hidup yang penuh perjuangan dan pengabdian, Haji Suparno berhasil mengukir jejak yang menginspirasi banyak orang dan berkontribusi besar terhadap dunia pendidikan di Indonesia.

Haji Suparno dikenal sebagai sosok yang tegas dalam manajemen usaha yang didirikannya, namun tetap mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan. Meski produktivitas karyawan menurun, ia tetap memberdayakan mereka yang telah lama bekerja, menunjukkan kesetiaannya pada karyawan. Dalam bisnisnya, ia juga menerapkan aturan ketat berbasis agama, seperti mewajibkan karyawan wanita mengenakan kerudung dan semua karyawan untuk menunaikan shalat, bahkan karyawan laki-laki harus shalat di masjid. Aturan-aturan ini mencerminkan semangat ibadah Haji Suparno yang tinggi dan menjadi landasan dalam menjalankan usahanya.

Setelah kembali ke Solo, Haji Suparno bersama istrinya memulai usaha kecil-kecilan. Pada tahun 1966, ia mendirikan Tri Jaya Plastik bersama dua rekan keturunan Tionghoa, Koh Ceng dan Pak Suyono. Usaha ini dimulai dengan memproduksi gantungan kunci bergambar artis, yang kemudian berkembang menjadi berbagai produk lain seperti dompet, tas, hingga jas hujan. Mereka bekerja sama dengan harmonis, masing-masing memegang peran sesuai keahlian: Haji Suparno di bidang personalia, Koh Ceng di pemasaran, dan Pak Suyono di manajemen. Keberhasilan mereka dalam memproduksi jas hujan sendiri, setelah mempelajarinya dari produk impor, menjadikan Tri Jaya Plastik semakin berkembang pesat.

Tri Jaya Plastik mengadopsi model bisnis kekeluargaan yang unik dalam pembagian hasil. Tidak ada aturan pembagian keuntungan yang ketat; mereka berbagi keuntungan berdasarkan kebutuhan masing-masing. Meskipun tidak sesuai dengan standar bisnis modern, model ini berjalan lancar selama puluhan tahun dan tidak pernah menimbulkan konflik. Bahkan ketika Haji Suparno berencana pergi haji, kedua rekannya mendukung dan memotivasinya. Pola manajemen kekeluargaan ini berlangsung hingga awal 2000-an, sebelum diubah ketika generasi penerus mengambil alih manajemen perusahaan.

Yayasan Al Abidin merupakan yayasan keluarga milik Haji Suparno yang didirikan untuk mendukung pendidikan santri yang kurang mampu dan mendirikan Koperasi pesantren sebagai bentuk kemandirian. Koperasi tersebut mengelola berbagai usaha seperti toko sembako, pabrik kasur, jas hujan, hingga kolam renang. Meskipun koperasi ini awalnya berkembang cukup baik, jumlah santri di pondok pesantren Al Abidin mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi hal ini, pada tahun 2003, Haji Suparno meminta putranya, Nurdin Urbayani, untuk mendirikan sekolah yang tidak hanya fokus pada pelajaran agama tetapi juga pelajaran umum, terinspirasi oleh perkembangan cucunya yang menimba ilmu di sekolah Islam terpadu.

Nurdin Urbayani kemudian berkolaborasi dengan Pak Sunarno, sahabat lama yang juga berpengalaman di dunia pendidikan. Setelah berdiskusi, mereka memutuskan untuk mengembangkan sekolah berbasis konsep yang lebih baik dari sekolah Islam terpadu lainnya. Dengan struktur baru, Yayasan Al Abidin mengubah format kepengurusannya, menjadikannya lebih sederhana dan efektif. Haji Suparno pun memperkuat komitmen yayasan ini sebagai yayasan wakaf, yang artinya keluarga tidak akan mengambil keuntungan dari usaha yayasan ini, bahkan lebih banyak aset pribadi Haji Suparno yang disumbangkan untuk mendukung kegiatan yayasan.

Semangat besar Haji Suparno dan tim pengurus dalam membangun pendidikan terlihat ketika mereka mendirikan SDII Al Abidin dan TKII Al Abidin dengan konsep berbeda, seperti tanpa PR, tanpa rangking, dan tanpa beban buku yang berat. Yayasan ini juga menggandeng teman-teman dari luar negeri untuk berbagi model kurikulum internasional. Meskipun pada awalnya banyak yang meremehkan konsep sekolah ini, namun mereka tetap berani untuk merekrut guru yang berkualitas tinggi melalui seleksi ketat. Sekolah ini akhirnya berhasil membuka pendaftaran siswa dan menerima 78 siswa pada angkatan pertama.

Dengan segala perubahan dan pengembangan, Yayasan Al Abidin mengalami kebangkitan yang signifikan. Mereka tidak lagi hanya sebuah yayasan kecil yang menaungi pesantren dhuafa, tetapi telah berubah menjadi institusi pendidikan yang berkembang pesat dengan konsep internasional. Yayasan ini tengah bersiap menjelajahi samudera pendidikan dengan visi yang lebih besar, mempersiapkan diri menjadi kekuatan baru dalam dunia pendidikan, dan terus berkembang menembus batas, menjadi inspirasi bagi banyak pihak.